The Social Dilemma (2020) : Good Argument But Not So Appetizing Solution

Film dokumenter. Skor IMDB nya sih jelek ya 7.7. Tapi menurut saya, film ini menunjukkan argumentasi yang bagus terkait dengan dampak dan posisi social media.  Terutama bagi orang-orang yang merasakan dampak negatif sosial media seperti saya. Sebagai generasi Y alias orang yang lahir tahun 1990 an, perjalanan sosial media saya dimulai dari Friendster beralih ke Facebook beralih lagi ke Twitter beralih lagi ke Instagram kemudian ke Path. Namun sebagaimana sebagian besar orang, Path tidak digunakan secara berkelanjutan, jadi balik lagi deh ke Instagram. At first, media sosial mengakomodasi untuk saling sharing, saling caring dan saling pamer foto. Karena saat itu HP yang digunakan tidak lah secanggih sekarang. Kami atau at least saya merasa excited setiap membuka platform media sosial di warnet. Melihat notifikasi, saling comment, haha hihi sana sini. Negatifnya, waktu dan uang yang disediakan untuk datang ke warnet menjadi lebih besar. It is addictive indeed. Lama kelamaan, didukung dengan kecanggihan teknologi, addictivity tersebut berubah menjadi habits. A shallow habit. Membuka notifikasi tidak seseru sebelumnya. Perasaan tidak nyaman melihat updates dalam circle friends (called insecurity). Nyinyiran kasar yang anonymous. Batas privasi yang mulai kabur. Politik dan stereotype yang semakin meruncing. Benar salah yang semakin abu-abu. *deep sigh

The Social Dilemma (2020) by IMDb


Hal-hal negatif yang saya sebutkan diatas dibahas pada film tersebut dengan argumentasi yang meyakinkan melalui interview dengan ex petinggi Google, Facebook, Twitter dan lain sebagainya. Sebut saja Tristan Harris, Tim Kendall dan Alex Troetter. Disajikan juga argumen dari ahli di bidang psikologi dan aktivis. Yes! Sebagian besar film ini memang menyajikan potongan-potongan interview dengan para ahli. Selain itu, terdapat juga dramatisasi penggambaran dampak media sosial yang menurut saya tidak terlalu perlu karena kurang sejalan dengan argumentasi yang dipaparkan. Kekurangan lain dari film ini adalah dari solusi yang disebutkan di menit-menit terakhir tidak menarik dan terlalu sederhana, yaitu masalah regulasi. 


Film ini berargumen bahwa media sosial saat ini bersifat manipulatif karena didesain untuk membuat orang tidak beranjak dari handphone alias media sosial. Untuk mencapai hal tersebut, AI (Artificial Inteligent) dibuat sehingga menu yang dimiliki setiap orang masing masing berbeda. Tergantung dari preferensi orang tersebut. Notifikasi dibuat personalized, sehingga setiap orang hanya melihat apa yang dia suka. Hal ini pada awalnya memang dibuat untuk memudahkan manusia menemukan apa yang dicari. Namun secara garis besar dan dalam jangka waktu panjang, membuat orang lebih tertutup atas possibilitas dan berita lain yang terjadi di dunia. Karena itu lah, satu berita yang salah dapat dengan mudah memicu konflik atau bahkan perang antar golongan jika tidak ada orang yang bertindak atas kondisi saat ini.


Selain itu dalam film ini, disebutkan bahwa secara personal media sosial menciptakan standar sosial  tertentu dimana manusia mengalami penurunan self esteem, ketidakpuasan atas kondisi yang ada, dan kenaikan angka depresi. Hal ini membuat manusia sering menyalahkan diri sendiri dan juga menyalahkan orang lain. 


Dari sisi perusahan pembuat media sosial, data atas pengguna media sosial adalah sesuatu yang diperjualbelikan. Jika kita tidak membayar atas produk tersebut, maka kita adalah produk yang sebenarnya. Media sosial menyimpan data kita dalam skala besar, searching history, transaction history, job history, email dan lain sebagainya. Salah satu fungsi dari banyaknya data ini adalah kepastian akan berhasilnya strategi. Ini lah yang utamanya diperjualbelikan. Data kita. Selain itu, media sosial saat ini memiliki kemampuan untuk merubah preferensi seseorang dengan menampilkan produk yang sama secara terus menerus. Hal ini lah yang kemudian dibeli oleh swasta. Sebenarnya hal ini sama dengan konsep iklan pada televisi. Namun dengan teknologi dalam genggaman (smartphone) intensitas pemberian iklan menjadi semakin masif dan dalam jangka waktu panjang merubah preferensi dengan pasti. 


Satu hal yang menurut saya agak aneh. Film yang mengkritik media sosial ini tayang di Netflix yang notabene juga merupakan platform media sosial. Agak ga sinkron bukan ya. 


Selain regulasi, kontrol diri juga perlu. Lawan! merupakan solusi lain yang disebutkan dalam film ini. Dengan cara menyebutkan keyword dengan tepat, menolak saran pencarian, membaca sebanyak mungkin info yang ada bahkan jika perlu membaca berita dan opini dari point of view lain, mengurangi waktu untuk media sosial dan lebih menghabiskan waktu untuk hal-hal yang bermanfaat. Menggunakan media media sosial memerlukan wisdom yang kuat dalam diri. So, Lets fights! and not being addictive. 

0 comments:

Post a Comment