Sudah lama tidak bertegur puisi. Dahulu hampir tiap minggu bertamu puisi. Jadi penikmat sih tidak, penulis pun bukan. Hanya orang lalu pengamat jauh. Tapi di penghujung minggu ini, jiwa ini merindu alunan indah puisi. Melankolisme meraja seiring galau usia. And then the poem starts here...

He. Jangan kau remahkan rasa. Hati berhak bicara. Perasaan berhak memekik. Galau berhak bersuara. Dan disini aku mewakili kalian. Mengurai kata. Bingung aku atas mereka.

Dia. Berbeda. Bertingkah tertata. Senyum tergoda. Busur melepas. Benteng hati bertahan berkata tak seiman. Meski terus berandai jika dia.

Dia berteriak. Riak berpamer. He kau. Lihat lah saya. Disini berpijak pada batu yang benar. Senyum itu pias. Gosip itu gendang. Salah itu musiknya.

Dia banyak bercakap. Sayang pikiran tak menangkap. Menyela disela tak sabaran. Namun simpati tiada cela. Sayang berwujud tanpa kata.

Dia ekspresif. Dikekang lepas namun mengekang. Aku dan dia seirama. Senang mencela dunia. Hanya ada beda menjulang.

Dia melunak sejak dunia mengeras. Hidup keras adalah jalan. Merasa perasa adalah sifat. Apapun itu tetap sahabat.

Dia dia dia.

Hanya satu dia meraja hati. Kumulonimbus dari sekian kumulus.
Asumsi tentangnya bergelombang pecah. Pias dalam otak. Bergulung besar menabrak. Hanya berdoa saat reda biarlah tetap reda. Hingga kemudian
Rasa akan badai terlupa.
Hingga senyumku takkan rikuh bertemu tatapanmu.
Dan logikaku takkan berhenti meski mendengar suaramu. 