Film dokumenter. Skor IMDB nya sih jelek ya 7.7. Tapi menurut saya, film ini menunjukkan argumentasi yang bagus terkait dengan dampak dan posisi social media.  Terutama bagi orang-orang yang merasakan dampak negatif sosial media seperti saya. Sebagai generasi Y alias orang yang lahir tahun 1990 an, perjalanan sosial media saya dimulai dari Friendster beralih ke Facebook beralih lagi ke Twitter beralih lagi ke Instagram kemudian ke Path. Namun sebagaimana sebagian besar orang, Path tidak digunakan secara berkelanjutan, jadi balik lagi deh ke Instagram. At first, media sosial mengakomodasi untuk saling sharing, saling caring dan saling pamer foto. Karena saat itu HP yang digunakan tidak lah secanggih sekarang. Kami atau at least saya merasa excited setiap membuka platform media sosial di warnet. Melihat notifikasi, saling comment, haha hihi sana sini. Negatifnya, waktu dan uang yang disediakan untuk datang ke warnet menjadi lebih besar. It is addictive indeed. Lama kelamaan, didukung dengan kecanggihan teknologi, addictivity tersebut berubah menjadi habits. A shallow habit. Membuka notifikasi tidak seseru sebelumnya. Perasaan tidak nyaman melihat updates dalam circle friends (called insecurity). Nyinyiran kasar yang anonymous. Batas privasi yang mulai kabur. Politik dan stereotype yang semakin meruncing. Benar salah yang semakin abu-abu. *deep sigh

The Social Dilemma (2020) by IMDb


Hal-hal negatif yang saya sebutkan diatas dibahas pada film tersebut dengan argumentasi yang meyakinkan melalui interview dengan ex petinggi Google, Facebook, Twitter dan lain sebagainya. Sebut saja Tristan Harris, Tim Kendall dan Alex Troetter. Disajikan juga argumen dari ahli di bidang psikologi dan aktivis. Yes! Sebagian besar film ini memang menyajikan potongan-potongan interview dengan para ahli. Selain itu, terdapat juga dramatisasi penggambaran dampak media sosial yang menurut saya tidak terlalu perlu karena kurang sejalan dengan argumentasi yang dipaparkan. Kekurangan lain dari film ini adalah dari solusi yang disebutkan di menit-menit terakhir tidak menarik dan terlalu sederhana, yaitu masalah regulasi. 


Film ini berargumen bahwa media sosial saat ini bersifat manipulatif karena didesain untuk membuat orang tidak beranjak dari handphone alias media sosial. Untuk mencapai hal tersebut, AI (Artificial Inteligent) dibuat sehingga menu yang dimiliki setiap orang masing masing berbeda. Tergantung dari preferensi orang tersebut. Notifikasi dibuat personalized, sehingga setiap orang hanya melihat apa yang dia suka. Hal ini pada awalnya memang dibuat untuk memudahkan manusia menemukan apa yang dicari. Namun secara garis besar dan dalam jangka waktu panjang, membuat orang lebih tertutup atas possibilitas dan berita lain yang terjadi di dunia. Karena itu lah, satu berita yang salah dapat dengan mudah memicu konflik atau bahkan perang antar golongan jika tidak ada orang yang bertindak atas kondisi saat ini.


Selain itu dalam film ini, disebutkan bahwa secara personal media sosial menciptakan standar sosial  tertentu dimana manusia mengalami penurunan self esteem, ketidakpuasan atas kondisi yang ada, dan kenaikan angka depresi. Hal ini membuat manusia sering menyalahkan diri sendiri dan juga menyalahkan orang lain. 


Dari sisi perusahan pembuat media sosial, data atas pengguna media sosial adalah sesuatu yang diperjualbelikan. Jika kita tidak membayar atas produk tersebut, maka kita adalah produk yang sebenarnya. Media sosial menyimpan data kita dalam skala besar, searching history, transaction history, job history, email dan lain sebagainya. Salah satu fungsi dari banyaknya data ini adalah kepastian akan berhasilnya strategi. Ini lah yang utamanya diperjualbelikan. Data kita. Selain itu, media sosial saat ini memiliki kemampuan untuk merubah preferensi seseorang dengan menampilkan produk yang sama secara terus menerus. Hal ini lah yang kemudian dibeli oleh swasta. Sebenarnya hal ini sama dengan konsep iklan pada televisi. Namun dengan teknologi dalam genggaman (smartphone) intensitas pemberian iklan menjadi semakin masif dan dalam jangka waktu panjang merubah preferensi dengan pasti. 


Satu hal yang menurut saya agak aneh. Film yang mengkritik media sosial ini tayang di Netflix yang notabene juga merupakan platform media sosial. Agak ga sinkron bukan ya. 


Selain regulasi, kontrol diri juga perlu. Lawan! merupakan solusi lain yang disebutkan dalam film ini. Dengan cara menyebutkan keyword dengan tepat, menolak saran pencarian, membaca sebanyak mungkin info yang ada bahkan jika perlu membaca berita dan opini dari point of view lain, mengurangi waktu untuk media sosial dan lebih menghabiskan waktu untuk hal-hal yang bermanfaat. Menggunakan media media sosial memerlukan wisdom yang kuat dalam diri. So, Lets fights! and not being addictive. 

Yak! Masih berlanjut mengenai review pemenang Best Drama di Baeksang Awards, kali ini saya akan membahas drama My Mister yang dibintangi idol K-pop terkenal IU (Lee Ji Eun) dan bintang Parasite, Lee Sun Kyun. Kedua pemain utama ini terpaut usia 18 tahun guys. Tapi sejujurnya drama ini bukan drama percintaan, jadi perbedaan usia tidak perlu terlalu dipikirkan. Banyak referensi yang saya baca memberikan pujian untuk IU atas kemampuan aktingnya. Hal ini tidak berlebihan karena sebelumnya di drama Dream High menurut saya kemampuan akting IU memang total dan diatas rata-rata. Selain itu, suara emasnya bukan hal yang main-main. Jarang banget ketemu penyanyi berkualitas yang diiringi dengan kemampuan akting yang berkualitas pula. Lee Sun Kyun merupakan salah satu aktor veteran di Korea Selatan. List film dan dramanya udah sehalaman lebih. Suaranya yang berat dan khas membuat emosi dari karakter tokoh utama yang berusaha hanging on life tersampaikan dengan baik. Cant say anymore about Lee Sun Kyun karena baru liat di Parasite. :)



Drama ini seperti Mother kesannya gelap dan suram, meskipun masih ada komedi. Bercerita tentang Park Dong Hoon (Lee Sun Kyun), seorang manager di Saman, sebuah perusahaan desain konstruksi yang cukup besar. Park Dong Hoon digambarkan sebagai orang super baik, bertanggung jawab dan berkemampuan lebih di bidangnya. Meskipun demikian, Dong Hoon cukup menjadi bahan omongan dan mendapatkan perlakuan tidak adil dari atasannya karena politik kantor. Direktur yang menjadi atasan langsung Park Dong Hoon merupakan juniornya di kampus dan hubungan mereka tidak baik-baik saja. Pada ranah personal, Park Dong Hoon merupakan anak tengah dari tiga bersaudara dimana kedua saudaranya tidak bekerja. Dong Hoon yang super baik ini selalu berusaha memberikan yang terbaik demi keluarganya. Dia membelikan rumah orang tuanya, memberikan uang kepada orang tua dan saudaranya jika dirasa butuh, dan lain sebagainya. Park Dong Hoon ini sebenarnya sudah berkeluarga dan memiliki anak yang sekolah di luar negeri. Istri Park Dong Hoon merupakan seorang pengacara yang memiliki karir cukup bagus. Terkait uang tidak ada masalah lah yaa. Namun ternyata istri Park Dong Hoon berselingkuh dengan Direktur yang merupakan juniornya tadi (Do Jun Young). Park Dong Hoon meskipun tidak pernah mengatakan, menganggap bahwa Jun Young merupakan tokoh paling kotor dalam hidupnya. Daan, istrinya tau akan hal ini. (:


IU memerankan Lee Ji An, seorang outsourcing di tempat Park Dong Hoon dengan masa lalu suram, dan berkepribadian anti sosial. Ji An tinggal satu area dengan Park Dong Hoon sehingga mereka sering bertemu meskipun tidak saling menyapa. Suatu hari Dong Hoon mendapatkan amplop nyasar yang berisi uang suap sedangkan Ji An datang ke kantor dengan muka bengkak karena habis dipukuli tukang tagih. Ji An yang mengetahui perihal amplop tersebut meminta traktir Dong Hoon. Malam itu, Ji An yang banyak utang memutuskan untuk mengambil uang suap tersebut. Internal affair Saman mendapatkan informasi adanya uang suap dan mulai melakukan investigasi. Park Dong Hoon terancam dipecat namun ternyata uang tersebut dikembalikan oleh seorang kakek janitor yang bilang menemukan amplop uang suap di tempat sampah. Investigasi dilanjutkan kembali secara diam diam karena masih belum menemukan pelaku jebakan uang suap. Ji An secara tidak sengaja mengetahui bahwa Jun Young lah si biang keladi dan menawarkan dirinya untuk memata-matai Dong Hoon dan Park Dong Un, supervisor Dong Hoon yang menjadi target jebakan uang suap. Ji An bersama Ki Beom menjebak Dong Un dan berhasil membuat Dong Un pindah ke Busan. Sedangkan dengan Dong Hoon, Ji An berusaha  membajak HP Dong Hoon dan membuat isu affair. 



Dari sini cerita berkembang, bagaimana Dong Hoon selalu berusaha menjadi orang baik untuk semua orang. Back up anak buah, melakukan politik kantor dengan benar, menolong Ji An tanpa membuat Ji An terbebani dan bahkan menyelesaikan affair istrinya. Semua dilakukan dengan logika dan conscience yang tinggi. Namun, sesuai yang dikatakan adiknya pada episode pertama, apapun yang dilakukan Dong Hoon tetap membuatnya menjadi orang paling merana sedunia My Mister. Bagi saya, karakter Dong Hoon sesuai dengan lagu Zombie nya Day6. Setiap malam setelah minum dan bercanda dengan saudara dan geng tetangga menghela nafas berat, why life is so hard. 


I feel like I became a zombie

Not alive but I'm still walkin'

When the sunrise is upon me

I'll be waitin' for the day to pass by

Oh why


Sama halnya dengan drama Mother, emosi para tokoh tersampaikan dengan baik sekali. Drama pada umumnya akan membuat Ji An menjadi karakter paling menyedihkan dan Dong Hoon superheronya. Namun pada drama ini karakter paling menyedihkan adalah Dong Hoon dan superheronya Ji An. Ji An yang cepat tanggap menolong Dong Hoon dengan cara paling ga keliatan. But I dont know if you have the same conclusion as I do. Drama ini juga punya side story yang cukup banyak yaitu cerita tentang Sang Hun dan Gi Hun (dua saudara Dong Hoon) dan juga Jung Hee (pemilik bar langganan Dong Hoon bersaudara). 


Satu hal yang tidak disuka dari drama ini adalah endingnya. Happy ending sih, hanya menurut saya kurang nyambung. Ji An terlahir kembali menjadi pribadi yang lebih baik dengan pekerjaan yang lebih baik, tentu setelah mendapat bantuan banyak orang. Dong Hoon pun sudah bisa tersenyum lepas dan mendirikan perusahaan sendiri. Hanya saja untuk sisi Dong Hoon saya merasa kurang klik karena sebelum ending, Dong Hoon menangis sendirian sejadi-jadinya. I just dont understand kenapa dia menangis dan setelah menangis dia menjadi bahagia. Itu doang sih. Sekian dan terima kasih. :)

Tahun lalu sempat ada teman yang merekomendasikan drama ini, namun karena judulnya "Mother" saya mengira drama ini adalah melodrama yang sedih mewek semacam Reply 1988. Tahun ini, karena keinginan menonton yang berkualitas dan memiliki moral values, akhirnya memutuskan maraton menyelesaikan drama yang memenangkan Baeksang Awards: Best Drama.  Hot Stove League (2020) okay! Signal (2016) Okay! Mother (2018) Keren! Drama ini unexpectedly suit my taste karena meskipun tetep melo tapi drama ini dibungkus dengan alur thriller. Cerita utamanya tentang penculikan dan kekerasan. 


Drama ini menceritakan empat sosok ibu dengan latar belakang yang berbeda. Yang satu menjadi ibu karena menculik anak (Kang Soo Jin), yang satu menjadi ibu karena mengangkat tiga orang anak (Cha Young Shin) dan terakhir menjadi ibu karena hamil diluar nikah (Shin Ja Young). Ada satu lagi yaitu ibu kandung Kang Soo Jin yang cukup merasa bahagia melihat anak dari jauh (ini tipikal drama sih). 

Cerita ini berkembang di titik Kang Soo Jin menculik Kim Hyena, salah satu murid di sekolahnya yang dicurigai mendapatkan kekerasan dari orang tuanya. Kim Hyena merubah namanya menjadi Kim Yoon Bok dan memanipulasi orang-orang bahwa dia hilang karena jatuh ke laut. Dari situ konflik antar keempat ibu dimulai. Kang Soo Jin versus ibu angkatnya, Kang Soo Jin versus ibu kandungnya, Kang Soo Jin versus Shin Ja Young (ibu kandung Hyena) dan Kang Soo Jin versus dirinya sendiri.  

Moral values yang ingin diceritakan oleh drama ini adalah bahwa setiap ibu memiliki nature sayang kepada anaknya baik ibu kandung maupun ibu angkat. Sejahat jahatnya dan se-egoisnya Shin Ja Young terhadap Hyena, dia tetap merasa kehilangan saat ditinggal Hyena. Moral values dalam drama ini secara eksplisit banyak diceritakan via statement Cha Young Shin seperti, "Anak bukan milik orang tua", "Menjadi ibu berarti mencintai anaknya melebihi cinta kepada diri sendiri". Selain itu drama ini menceritakan pengorbanan yang dilakukan oleh setiap karakter ibu untuk anaknya. 

Konflik batin yang dialami tokoh utama diceritakan dengan baik dan komprehensif. Proses dimana Kang Soo Jin mulai berempati dan memutuskan untuk menyelamatkan Hyena dijelaskan dengan jelas. Keputusan untuk menyelamatkan Hyena membuat Kang Soo Jin menelusuri kembali masa lalunya, bertemu dengan tokoh-tokoh masa lalu dan berdamai dengannya. Setelah berdamai dengan masa lalu, Kang Soo Jin masih harus berkutat dengan konflik batin terkait ending hubungannya dengan Hyena. Saat berkonflik, Kang Soo Jin banyak dibantu oleh Dr. Jin Hong. 

Soal aktor, I was so amazed with Kim Hyena yang diperankan oleh Heo Yeol. Heo Yeol memerankan Hyena tanpa cacat. Cara bicara yang digunakan dia dalam drama menggambarkan Hyena sebagai sosok anak yang lebih dewasa dibanding teman sebayanya, bahkan dibanding dengan ibunya. 





Adalah sebuah keluarga standar, terdiri dari ayah, ibu dan tiga orang anak dengan karakter serba standar. Anak pertama independen, pintar, perfeksionis dan pekerja keras. Anak kedua tipe yang sangat toleran dan selalu berseberangan dengan anak pertama. Anak bungsu yang selalu dianggap bocah, cengengesan tapi sebenernya sosok yang sudah dewasa. Yang membuat cerita keluarga ini spesial sebenarnya konflik antara ayah dan ibu dimana sang ibu mengusulkan untuk menjalani apa yang dia sebut dengan kelulusan pernikahan. Cerai tapi ga cerai. Wkwkwk. Ada hikmah dibalik musibah. Di saat emosi semua orang carut marut, karakter ayah mengalami kecelakaan dan hilang ingatan sebagian. Ingatan sang ayah berhenti di hari dimana ia melamar sang ibu dan tetiba menjadi orang yang paling romantis sedunia. Yah. kata sedunia lebay sih. But I like it! Alhasil, rencana untuk lulus dari pernikahan terhambat. Di sisi lain, masing masing karakter dalam keluarga mengalami polemiknya sendiri-sendiri. 




Cerita drama ini menarik meskipun simple, heart-warming dan realistis. Karakter anak pertama hingga ketiga dibuat cukup umum dengan konflik antar saudara yang cukup umum pula. Konflik Ibu dan Bapak diceritakan secara sederhana terkait miskomunikasi yang terpendam berpuluh puluh tahun. Tidak ada karakter antagonis dan tidak ada korban cinta segitiga di film ini. That's why I love it.  Selain itu, konflik pernikahan anak pertama dibuat tidak umum yaitu karena orientasi seksual alias LGBTQ+. Layaknya drama bertema family, rasa sayang antar anggota keluarga juga diceritakan secara apik dan simple. Berbekal dukungan dan rasa sayang ini lah, para tokoh menyelesaikan konfliknya dan mendapatkan kebahagiaan masing masing.   


Kritik? Mungkin bagi para penggemar cerita seru yang suka gaya bercerita cepat tidak akan suka dengan drama ini. Karena konflik drama ini sangat simple.  Selain itu, karena drama ini bergenre family, cerita cinta tokoh utama (anak tengah) tidak diceritakan secara mendalam dan ribet, jadi ga ada sisi berdebarnya gitu.  Yang suka cerita romantis lewaaaattt~


Ada beberapa hal juga yang bisa dijadikan pelajaran terutama bagi orang yang memiliki background mirip. 

  1. Marriage is not easy. Yah. Who said marriage is easy. Having family means dealing with upgraded problem because there many people to be considered on decision making process. Dalam hal ini, Ayah Ibu berangkat membangun keluarga dari scratch. Tanpa dukungan keluarga, karena masing masing sudah tidak memiliki keluarga. Dan juga tanpa modal dana yang cukup. Kedua hal ini membuat mereka cepat lelah secara emosi dan akhirnya berpotensi terjadi miskomunikasi. Miskom dan kelelahan emosional ini dipendam masing-masing berpuluh tahun dan muncul lah konsep pernikahan bertahan demi anak tanpa cinta. ditekankan lagi: berpuluh tahun bertahan demi anak. Super exhausted but many did it.  Satu lagi konflik pernikahan diceritakan oleh anak pertama yang menikah dengan dokter pemilik klinik, kaya dan baik hati. Eeh setelah beberapa tahun, akhirnya si dokter memutuskan untuk come out as a gay dan akhirnya bercerai.
  2. Pada dasarnya butuh saudara. Meskipun tidak cocok dan tidak saling bicara, anak kedua selalu mencari kakaknya saat ada masalah. Saat anak bungsu tertipu pun, adalah saudara yang pertama khawatir dan mencari. Blood is always thicker than any relationship. :)






Drama Hot Stove League merupakan salah satu drama yang populer di Korea, bahkan drama ini mendapatkan penghargaan Best Drama pada Baeksang Arts Awards 2020.  Drama ini memiki tema yang tidak umum yaitu sports khususnya baseball dan tidak ada unsur percintaan di dalamnya. Bagi sebagian besar orang, termasuk saya pada awalnya, menganggap remeh drama ini karena tidak suka dengan temanya. Setelah berhasil mendapatkan Best Drama di Baeksang Awards, barulah saya penasaran dan akhirnya menonton drama ini. 

Ending taste yang didapat adalah "It is a good drama indeed". :)



Drama ini sangat berkorelasi dengan kehidupan sehari-hari seorang pegawai seperti saya. Bercerita tentang seorang pekerja keras dan pintar namun kurang beruntung. Luar biasanya, meskipun tidak beruntung berulang kali, tokoh utama dalam drama ini tetap bekerja keras sepenuh hati untuk mencapai tujuan tim, dan tidak pernah goyah meskipun tidak ada orang yang mendukungnya.


Adalah Baek Seung Soo (a.k.a Nam Goong Min) yang baru direkrut menjadi general manajer tim baseball Dreams. Seung Soo diangkat karena memiliki reputasi bagus dalam mengelola tim olahraga Sumo dan handball. Sayangnya, meskipun memenangkan liga, namun kedua tim yang pernah dikelolanya sama sama bubar. Saat itu, kondisi Dreams sangat terpuruk, tidak memiliki satu pun anggota yang kompeten selain Lim Dong Gyu dan berada di posisi terbawah liga baseball Korea selama 4 tahun berturut-turut. 


Baek Seung Soo mulai mempelajari permasalahan yang ada di Dreams dan melakukan pembenahan yang bisa dikatakan ekstrim seperti menjual Lim Dong Gyu ke tim lain. Awalnya, Baek Seung Soo mendapatkan perlawanan baik dari manajemen tim maupun dari anggota tim baseball. Selain itu Baek Seung Soo juga mendapat tekanan dari owner Dreams yang ternyata berniat membubarkan Dreams karena rugi. Atas tekanan dan perlawanan tersebut, Baek Seung Soo tidak goyah, tetap cool menjalankan strateginya dan membuktikan bahwa sebagian besar strateginya memang membawa perubahan bagi Dreams.


Selain Baek Seung Soo, tokoh utama lain adalah Lee Se Young, manager operasi Dreams yang diperankan oleh Park Eun Bin. Se Young merupakan manajer termuda di Dreams dan memiliki karakter positif dan optimis. Se Young menjadi tangan kanan Seung Soo dalam menjalankan pembenahan Dreams dan juga jembatan antara Seung Soo dan tim manajemen lain. 


Singkat cerita, Dreams kembali mulai diperhitungkan di liga baseball Korea dan tidak jadi bubar. Namun plot twistnya adalah meskipun terbukti berhasil membawa kembali kejayaan Dreams, kontrak Baek Seung Soo tetap tidak dilanjutkan dan dia harus mencari pekerjaan lain kembali. Not really a happy ending. :')


Ada beberapa catatan dari drama ini yaitu:

  1. Strategi. Dalam melakukan pembenahan organisasi, kita harus menemukan terlebih dahulu sumber utamanya. Nah, ini dilakukan dengan belajar dan riset mendalam mengenai sejarah dan statistik dari suatu organisasi. Setelah ditemukan baru strategi dapat disusun dengan memikirkan seribu satu dampak yang dapat diakibatkan dari menjalankan strategi tersebut. dan Jangan Goyah karena akan selalu ada perlawanan. 
  2. Trust. Dalam membangun Dreams, salah satu strategi Baek Seung Soo adalah membangun trust dalam tim dan boost confidence level posisi-posisi strategis seperti pelatih. Baek Seung Soo juga membangun trust bawahannya terhadap dirinya dengan membuktikan strategi strategi ekstrim yang dia jalankan secara riil memang membawa efek bagus terhadap Dreams.  
  3. Communication. Nah ini nih. Notes. Pola komunikasi Baek Seung Soo adalah dengan melakukan evaluasi secara ekstrim atau terlalu straight forward. Dia tidak segan segan menunjukkan kesalahan-kesalahan yang dilakukan Dreams dengan gaya cool ala komik ya. Hal ini tidak sesuai dengan rumus negosiasi yang diajarkan Dale Carnegie dalam bukunya How to Win Friends and Influence People, best seller sepanjang abad. Dale Carnegie mengatakan untuk menjadi negosiator yang baik, jadilah pendengar yang baik dan jangan secara langsung menunjuk kesalahan orang, karena tidak ada orang yang suka disalahkan dan hal tersebut secara tidak langsung membangun keengganan orang untuk mendengarkan perkataan kita. Nah, gatau ya yang bener yang mana. I am not a negotiator and tend to become pacifist than arguer. Hahaha.

Untuk aktornya, paling suka sama Oh Jung Se (sebagai Kwon Kyung Min) meskipun antagonis. Aktingnya sangat oke dalam menggambarkan seseorang yang complicated, penuh dengan hatred tapi berusaha membawa hidup dengan tegar. Setelah dicari di Asian Wiki ternyata bapaknya cukup senior di area drama dan film, bahkan mendapat Best Supporting Actor di When Camellia Blooms. 

Oh Jung Se sebagai Kwon Kyung Min





Waw. Rasanya sudah lama sekali tidak membaca buku hingga selesai. Buku ini sepertinya adalah buku pertama non fiksi yang dibaca hingga selesai. Bukan karena buku ini tidak menarik, namun yah, karena penurunan minat membaca secara gila gilaan akhir akhir ini. :')
Dikarang oleh Dan Ariely, seorang profesor Psikologi dan Behavioral Economics di Universitas Duke, buku ini menceritakan lima belas fakta tentang irrasionalitas manusia dalam membuat keputusan ekonomi. Selain itu, Profesor Ariely juga mendebat teori ekonomi klasik tentang pembentukan harga pasar. 

Buku ini bagi saya sangat menarik, meskipun sebenarnya adalah sekumpulan jurnal ilmiah. Fakta-fakta yang dibahas menarik, bahasa jelas dan sederhana dan sistematika penulisan membuat buku ini tidak membosankan dibaca.  
Setiap teori dan fakta dijelaskan melalui eksperimen-eksperimen yang telah dilakukan oleh Prof Ariely sendiri. Selayaknya jurnal, metodologi buku ini diawali dengan latar belakang dan pertanyaan-pertanyaan skeptis tentang perilaku manusia yang katakanlah aneh. Kemudian dilanjutkan dengan hipotesis, akankah begini dan begitu. Selanjutnya berangkat dari premis dan hipotesis tersebut, Prof Ariely menjelaskan metodologi eksperimen yang telah dilakukan olehnya berserta kolega-koleganya. Dari hasil eksperimen tersebut profesor menjelaskan hasil dan rasionalisasi atas hasil tersebut.  

Buku ini cocok sekali buat yang ingin 
mengembangkan critical thinking. Berangkat dari satu masalah, Prof Ariely tidak hanya berhenti di satu titik. Pertanyaan-pentanyaan skeptis yang mendasari dikembangkan kembali. Begitu pun model eksperimen yg dilakukan. Setuju sih dengan review yang diberikan pada buku ini dan tidak heran juga kalau masuk di serial New York Times Bestsellers. 

Di akhir, Dan Ariely menekankan bahwa manusia itu bias dan tidak ada yang bisa dilakukan selain menerimanya. Setelah penerimaan tersebut, kita selayaknya lebih mendengarkan nasehat dan feedback dari orang lain serta melakukan sesuatu untuk memperbaiki proses pembuatan keputusan yang dipengaruhi oleh kebiasan tersebut.

Berikut saya share beberapa fakta menarik menurut saya yang dibahas pada buku ini :
1. Seorang manusia tidak dapat mendefinisikan apa yang mereka inginkan sebelum memiliki pengetahuan tentang hal tersebut. Karena itu lah manusia cenderung mengambil keputusan dengan cara membandingkan satu hal dengan hal yang lain. Masalahnya adalah apakah hal yang dibandingkan sudah sesuai, sedangkan manusia cenderung membandingkan dengan hal hal yang berada dekatnya atau yang pernah dialami. Problem ini sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh buku Thinking Fast and Slow karya Daniel Kahnemann tentang Sistem 1 manusia yang bersifat intuitif dan cenderung mempermudah dan menyederhanakan masalah. 

2. Terdapat dua norma di masyarakat dalam memandang materi yaitu norma pasar dan norma sosial. Kedua norma tersebut tidak dapat berjalan beriringan. Teori yang dikemukakan adalah bahwa jika barang barang yang biasa memiliki nilai pasar (bisa diperjualbelikan) digratiskan, maka manusia akan lebih memperhatikan sesama. Teori ini menjelaskan kenapa saat makan bersama selalu ada sedikit sisa makanan. Dan sebaliknya jika barang yang biasa dinilai dengan nilai sosial kemudian diukur dengan nilai pasar/uang maka kepuasa atas barang tersebut akan hilang. 

3. Manusia cenderung membuka opsi seluas luasnya karena takut akan kehilangan kesempatan. Padahal semakin banyak opsi yang diambil semakin tinggi risiko bahwa tujuan tidak tercapai secara optimal.

4. Ekspektasi terhadap suatu hal/barang secara tidak sadar akan mempengaruhi hasil/tingkat kepuasan marginal atas utilisasi barang/jasa tersebut. 

Because of Prison Playbook, I tried to watch another Shim Won Ho masterpiece, the Reply Series. Started from one which has the highest rating, Reply 1988. As the title, the time setting is in year 1988. I don’t know how it is like. I haven't born that time and I am not Korean so some jokes is just blank. Hahaha. But I enjoy watching this series. It hit my soft spot. I cried (almost wailed) in the ending. I was so sad that everything would never stay the same. Everybody should move on. Everyone has to :')

There is a monologue :

"In the end, fate and timing do not happen by coincidence. They are products of countless earnest choices that make up miraculous experiment. Giving up and making decisions without reservation or hesitation. That is what makes timing."

Then I cried again. :')

This is my first time watching K-Drama with this kind of emotion. Good job PD nim! It deserves its rating indeed.

The story lies in a housing block in Ssangmun-dong, Dobong, Seoul. When I search google maps, it is located near Bukhan-san, rather far from the heart of Seoul. There are five families there whom very close to one another. Never knocking the door when visited and always sharing  the food three times a day. If it is real, I would wonder if any conflicts ever happened to them. But it is just a story. Go away you skepticism~

Those five families has children who is in the same age. They are Sung Deok Sun, Sung Sun Woo, Kim Jung Hwan, Ryu Dong Ryong and Choi Taek. Deok Sun is the only girl here. But it didn’t make her get special treatment. The special treatment goes to Choi Taek, a master in Go game (baduk). He got some blank personality and not good into anything besides the Go game (another Kim Je Hyuk Prison Playbook). The other children is so protective around him. Choi Taek's room is like a basecamp though the owner hardly be there because of the competitions. In 1988, they are in high school age. Taek is not going to school and focusing on Go game. Like other teenagers, they start a romance story among them.


Their love story is not exaggerating and more realistic than any other drama but that what makes it sweet. Most fan of Reply would vote for Junghwan-Deok Sun couple because it has the best chemistry. In the end they are dating for real but I am just disappointed that it is not happened in the drama. In the early episodes, they give us some clues about who would be Deok Sun's husband. But the clues are just deception until two third of the story. I feel betrayed. Whyy~ you make Jung Hwan lose and force him to let go of his first love. Then, after being angry for the rest of the episodes, I would just accept that maybe it is what PD-nim want to tell, how to let go a long love like the title for episodes 18 Goodbye My First Love. Wkwkwk. The OST "Youth" by Kim Feel and Kim Chang Wan is a good choice, it makes the ending sadder.

Besides teenage love story, there is also a love story between father and his eldest daughter who are not good in expressing their feeling. Love that does not require a reply. Just watching their daughter happy or her father proud is enough. In that housing block every parents are the same. Always care for their children and would do anything just to make sure they eat well and not to worry their parents. The story is well told and the parent actors are veteran. The ending of this story is very touching. Another letting go story. :')

The PD-nim does not forget his time travel signature. Comparing with Prison Playbook and Hospital Playlist, this is the smoothest one. The theme is time travel to 1988 after all. Hahaha. Unlike Prison Playbook, I dont really find the comedic side of this drama. The touching side is more impactful. 

I would like to give a thumbs up to all parent actors, Hyeri who I never expect would acts so well, Ryu Jeong Yeol (he is not handsome but his acting covers that :p), Park Bo Gum (He feels manly here) and Lee Dong Hwi (He is the oldest among the children actors but he can suit his character)

The contra is I don’t really feel a good chemistry from Sun Woo and Bora. And I don’t really agree about Jung Hwan confession that turns to jokes. It is a plot twist but yeah hurtful. :’)

I would recommend this drama to everyone who bored with usual storyline and who needs consolation. I would continue watching another Reply stories, but I need time to reconstruct my emotion. I don’t want to cry a river again. Wkwk.

All pictures credit to Asianwiki.com ( http://asianwiki.com/Reply_1988)